Antara Buku dan FIlm

Beberapa waktu lalu gua dapat kesempatan berbincang dengan seorang temen soal beberapa buku yang kemudian diangkat menjadi sebuah karya film leyar lebar.

Temen gua beranggapan itu syah-syah saja, selama cerita yg difilmkan ga terlalu melenceng dari cerita yang ada di dalam buku. Gua berfikir dia satu dari sekian banyak pencinta  buku yang mungkin juga keranjinagan dengan film. Dan khusus untuk film- film yang kisahnya di adopsi dari cerita buku, dia punya trik sendiri,  caranya dengan membalikan kondisi. Dia menahan diri untuk ga segera membaca buku dari sejak dibeli. dengan asumsi bahwa buku itu nantinya akan di jadikansebuah film. dan membacanya setelah menonton film, rade ga masuk akal. tapi menurutnya itu cara mensiasati kalau kalau buku tersebut di angkat ke film layar lebar. dan menurut keyakinananya dengan cara ini dia bisa menikmati keduanya.

Initinya dia akan membaca setelah dia menyaksikan filmya, berbading terbalik dengan yg seharusnya, bahwa buku lebih dulu terbit kemudian disusul pemutaran filmnya.

Memang sebagian orang menerima dengan antusias hadirnya sebuah karya film yang di angkat dari sebuah buku, bahkan rela mengantri tiket demi untuk menyaksikan film tersebut di hari pertama peluncuran. *nyari pertamax gan*

Gua emang kelewatan ya.. Yang beginian aja di permasalahin.? Ga.. Engga, gua ga mempermasalahkan soal pengangkatan cerita yang ada dalam lembaran kertas menjadi sebuh gambar gerak dan suara beranama pelem. Atau syirik dengan mereka yang rela berdiri berjam jam demi sebuah tiket di hari pertama penayangan sebuah film di bioskop.

Tapi terus terang gua ngerasa kecewa tiap kali buku favorit yang telah gua baca tuntas lantas muncul di iklan tipi,  berbunyi “segera tayang dibioskop kesayangan.” rasanya pengen tereak sambil nyebutin semua nama binatang yang ga boleh disebut.

Permasalahan terberat adalah memilih apakah gua menoton film yang sesungguhnya gua udah tau perjalanan kisahnya secara lugas, telah gua baca secara detail kisah demi kisah dibalik cerita  yang ada didalam tulisan  buku tersebut, atau kah kembali memasukan cerita yang sama dengaaan kondisi yg mungkin akan berbeda dengan cerita yg telah gua bangun sendiri di otak gua?…

Ini bukan masalah enteng, ini berat men.. Seriuss…

Ngebangun cerita dari dalam sebuah buku lengkap dengan kondisi, sosok, hingga detail perbincangan diantara tiap tokoh yang ada ditiap jengkal alur dalam cerita sebuah buku bukanlah perkara mudah, makanya Gua berfikir untuk ngeyel dengan bayangan gua sendiri tentang sbuah cerita yg gua bangun sendiri di otak gua, dan berfikir bahwa dengan menonton filmnya hanya akan membuyarkan semua bayangan ceriat yang udah susah payah gua bangun persetiap detiknya selama membaca.
Lalu bayangan kisah tiap sudut cerita yang kita bangun sesuai yg ada dibayangan kita itu hilang begitu aja,  tergeser oleh cerita bergambar berdurasi 2,5 jam dari layar lebar. Gua sih ga rela 😀

Bagaimana dengan kalian?

Leave a comment