Catatan Pendakian (Part3)

Indahnya Pagi di Surya Kencana  [lanjutan part 2]


Bangun pagi dengan rasa yang malas, tepatnya sangat malas, bisa jadi yang lain juga ngersain hal yang sama. entah deh, gua bangun telat pagi itu. Sleepeng Bag biru tua yang nemenin gua malem itu seakan takut kehilangan gua. hehehe :D. Tapi gua ga setelat Ariz yang terbangun nyaris sarapan pagi selesai di masak.


Pagi itu gua emang ga ikutan sibuk di dunia perdapuran, alam bawah sadar lebih menjanjikan untuk dapat menikmati kemaha dinginan surya kencana di  cerahnya pagi itu. Sony, kliatan manis, dengan kaos kakinya, Tribudi pasti ada di sampignya, 2 sejoli yan kliatan asik goreng tempe berbalut tepung.. so swittt.. :D, (semoga ga sampe bikin Shontonk ngeces), tak jauh dari mereka berdua Arly dan Bang sapari yang kompak memasak sarden, serta Bhudi sandi yang juga ikutan bantu, yang gua liat setelah gua keluar dari sarang berwarna oren, entah siapa lagi yang membantu masak pagi itu, kan saya bangunnya telat.. hehehehe..

Menyeruput kopi hitam panas, menjadi pembuka hari gua di Surya kencana… biar kata pake gelas botol mineral yang gua potong kapalanya, pemandangan pagi surken nan berlapis kabut tetep kliatan indah.


Tak lama, sarapan mateng. Beda dengan malamnya, yang makan masing-masing menggukanan piring, pagi ini kami makan menggunakan alas plastik berlapis 3 buah kertas nasi yang dijajarkan. Makan lesehan dalam satu wadah. ehmm.. nikmatnya kebersamaan.. nasi yang sama, lauk yang sama, langit yang sama.. dan rasa yang sama.

Badewey… makan doang tanpa minum bahaya men, jadi pelajaran yang bisa di ambil adalah, siapkan air sebelum makan, bukan gunakan air untuk gosok gigi dan cuci muka sebelum makan. ehmm.. (hotel kaleee)

Dingin udara dan hangatnya mentari yang baru terbit bercampur dengan kabut yang mulai menipis, membuat  pemandangan Surken makin menawan dari kajauhan.. Maha Suci Allah.. keren dah pokonya.. terasa begitu damaii…

Mentari perlahan makin meninggi, kami putuskan untuk siap-siap packing dan turun gunung.. tapi jangan salah, turun bukan berarti bisa langsung turun, karena kami harus terlebih dulu naik ke puncak Gede, karena sesuai rencana bahwa kita akan turun melewati jalur cibodas.

Setelah semua siap, kami mulai naik ke puncak, kecuali harus bongkar ulang trashbag dan di bagi ke babarapa orang untuk membawa turun sampah dari logistik yang kita bawa, selebihnya berjalan lancar.

Pendakian ke pucak pagi itu dimulai sekitar pukul 09.30 wib. Seperti pendakian awal saat dari pos gunung putri, disini tenaga kita kembali di pacu. udara yang menipis dan dingin yang terus menerpa, mambuat kami harus kembali menyesuaikan suhu tubuh dengan alam sekitar.

Satu setengah jam kemudian kami sampe di Puncak Gunung gede. Gua sendiri bukan orang pertama yang sampe ke puncak, karena dari awal pendakian Surken-pincak, gua adalah orang terakhir dalam rombongan. Perjalanan semakin terhambat karena lagi-lagi, ditengah perjalanan naik, Shontonk mendapat panggilan alam.. weww,, gua harus nungguin dia, takut kalo lagi ng***n tiba2 di makan macan.. hahahaha.. (harusnya saat itu gua panggil Sir Shontonk, soalnya yg di pake tissu kering), pola hidup orang bule.

Perjalanan di lanjut, gua putusin meninggalkan shontonk dan memilih jalan duluan, (eh.. eh.. di tengah-tengah gua dapet signal lho), sayang telepon gua dari balik awan ga sempet di angkat sama si dia.. cieee… lanjootttt.. Akhirnya gua sampe juga di puncak dengan tambahan keril.. Kebetulan tiwi yang gua temuin di tengah pendakian sempet ga kuat karena beban berat, jadilah kerilnya gua yang bawa.. (salut buat tiwi sama mirza).. karena akhirnya ngerasain juga keindahan Puncak Gede. Selamat….

Sesampainya di puncak, ternyata ada beberapa rombongan yang udah memenuhi pelataran samping kawah yang sedang beristirahat, sama seperti kami mereka juga kliatan asik dengan berfoto-foto.. (JakNarsis kembali meunjukan taringnya).

Setelah istirahat sambil menikmati keindahan puncak gede dan kawah putihnya, serta ritual wajib, foto-foto, Kurang lebih jam 11.30 kami turun. melintasi jalan berpasir menuju tanjakan setan trus ke selter kandang badak. Lagi-lagi gua menjadi orang terakhir dalam rombongan, karena tak jauh setelah memasuki hutan, gua berenti lama karena harus meng-anakan kerirr yang gua pake (istilah menumpuk 2 kerrir menjadi satu)..

Perjalanan dari puncak ke kandang badak terbilang lancar, kecuali Bacot yang harus extra memberi semangat ke Mirza saat turun lewat jalur tanjakan setan, sebenernya ada jalur alternatif selain tanjakan setan yang harus turun mengandalka tali tambang. “ngetes aja, biar dia (Mirza) beranai” jawab Bacot, pas di tanya sama done “kenapa si Cot lu ga lewat jalur muter aja, barengan sama yang laen” tanya Done sedikit mengeritkan dahi. Tapi oke lahhh.. selamat buat Mirza..

Lebih dari 2 jam berlalu, akhirnya kami sampe di shalter Kandang Badak. Disini cukup lama beristirahat, sambil menikmati kopi panas. gua sempetin untuk buka sepatu sekedar untuk nge-regangin otot kaki.. ngomong-ngomong gelasnya boleh juga tuh, gelas siapa ya?..

Perjalanan kembali di lanjut, kali ini sepertinya 4 jam akan berjalan nonstop tanpa berhenti, melewati jalur berbatuan khas jalur Cibodas, hanya beberapa kali menghantikan sebentar perjalanan sebagai pelepas lelah. Melewati air terjun merah, lalu Shalter Kandang Batu, dan akhirnya sampe di Shalter Air Panas. Ternyata di sini penuh dengan para pendaki. Alhasil rencana awal untuk menjadikan shalter ini sebagai tempat rehat di batalakan, Dan perjalanan kembali di teruskan.

Gua ga tau jam berapa waktu itu, akhirnya sampai di Shalter Panyangcangan (orang biasa menyebutnya, air terjun cibeureum), yang pasti sudah cukup sore, bahkan mendekati magrib. Puncak memang udah jauh terlewati, tapi Disini puncak keletihan tubuh justru sedang tingi-tingginya. Bahwa turun lebih berat dari mendaki ternyata benar adanya, bahkan menurut info sekitar 70 persen kecelakaan di gunung terjadi pada saat turun gunung. Terdapat banyak faktor yang memengaruhinya, namun kondisi fisik dan pengalaman merupakan faktor utama.

Dengan sisa tenaga yang ada, gua lanjutin perjalanan dari Shalter Panyangcangan, dengan kondisi langit yang belom gelap-gelap amat, gua coba kebut, males kalo sampe kegelapan dan harus ngoprek kerrir buat ngeluarin senter. dari panyangcangan gua jalan sendiri tertinggal dari rombongan yang pertama. meningglakan rombongan yang belakang.

Shalter Telaga Biru udah gua lewatin, dan mulai melewat jembatan kayu yang mulai rapuh.. Bertanda bahwa gua makin mendekat dengan Pos TNGP, semakin dekat tubuh semakin manja, semakin terasa berat dan tertatih – tatih menuruni satu demi satu undakan nakan tangga. Membawa 2 kerrir dengan kaki yang mulai gemeter,  dan sisah tenaga yang ada, akhirnya sekitar jam 6 sore gua kembali keperadaban. horeee…

Tempe goreng dan segelas teh panas menjadi penyudah perjalan hari itu, sebelum akhirnya melaporkan diri ke TNGP dan di lanjut ke per-parkiran untuk menaiki angkot menuju jalan lintas Bandung Jakarta untuk menaiki bis menuju Jakarta tercinta. (makasih buat bobi atas traktirannya).

Sungguh, perjalanan yang banyak menorehkan pengalaman, betapa alam begitu banyak mengajarkan arti sebuah kesabaran, kebersamaan dan kekuatan. Mendaki gunung bukanlah tentang menaklukan alam tapi bagaimana dapat menghargai alam. Karena dihadapan alam kita manjadi begitu kecil dan bergantung kepadanya.

Terima kasih buat Komandan atas ide cemerlangnya ngadain pendakian bersama.. kapan nih ngadain lagi?, makasi buat semua temen-temen yang berpartisipasi.. salut dan selamat karena sudah sukses membuat yang ga ikut jadi ngeces..

Dan yang pasti terima kasih yang sebesar-besarnya buat yang udah baca catatan pendakian ini, dari mulai part 1, Part 2 sampe akhir part 3 (yang sedang di baca)..

Salam Plesiran

Leave a comment