HIV-AIDS Menjangkit Ibu Rumah Tangga di Papua

Barangkali para pembaca akan bertanya, kapan saya menginjakan kaki di Bumi Papua? Atau setidaknya mengagkat jempol sambil berkata “salaut”..  Tidak, tidak..  itu salah besar. Yang bakalan Anda baca dalam tulisan ini, bukan hasil dari kunjungan saya pribadi. Saya hanya di minta nulis untuk salah satu media pemerintah. Lantas datanya dari mana?..  Nah kalo data memang benar adanya, karena yang berangkat ke papua untuk keperluangan pendampingan adalah teman saya, sekaligus yang meminta saya untuk membuat tulisan ini. Tentu aja merujuk dari data yang beliau kasih ke saya.

Selamat membaca. Semoga mengilhami kita semua. Aminn,,

***

Arus penyebaran HIV-AIDS di bumi Papua seolah tak terelakan. Mata rantainya seolah sulit untuk di urai. Entah bermula dari mana, dan sejak kapan?.. Kalau sudah begini, lantas siapa yang harus bertanggung jawab? 

Maret 2012 lalu, tim dari Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berkesempatan mengunjungi tanah Papua. Kedatangan  ke provinsi ter-timur di Indonesia ini untuk mengetahui lebih dekat persoalan HIV yang kian memprihatinkan. Menurut kabar penyebaran virus HIV di Papua terbilang massif.  Tanpa adanya penanggulangan yang konkrit bukan tidak mungkin Papua akan seperti “Afrika kedua” dalam hal HIV/AIDS.

Matahari cukup  terik cenderung menyengat, ketika tim sampai di Bandara Sentani, Jayapura. Jantung yang semula berdetak kencang, perlahan mulai mereda ketika pesawat yang kami tumpangi akhirnya berhenti dengan sempurna. Ini merupakan kali kedua saya menginjakan kaki di Bumi Papua. Dari bandara di lanjutkan menuju ke penginapan untuk melepas lelah setelah menempuh Jakarta – Papua selama sekitar tujuh jam penerbangan. Sebelum keesokannya menjalani berbagai kegiatan yang sejak awal sudah kami rencanakan. Perjalanan dari bandara menuju penginapan, melebihi waktu yang seharusnya. Namun begitu, saat melewati keindahan danau sentani yang memanjakan mata, membuat letih seperti hilang tertiban pesonanya. Penantian panjang untuk melepas lelah akhirnya tiba. Dan tim sampai di penginapan sekitr jam 7 malam waktu setempat. Waktunya beristirahat.

Hari Pertama, Bersama Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua

Hari pertama kegiatan, atau hari kedua tim berada di Papua, lebih banyak di habiskan dengan berbincang dengan pengurus KPA Provinsi Riau. Banyak hal yang kami dapat dalam perbincangan kami di hotel Swis-bel, Papua kali ini. Tak terkecuali persoalan sosial budaya masyarakat Papua dengan segala problema yang ada, terutama yang berkaitan dengan persoalan HIV-AIDS.

Miris, mungkin itu kata yang tepat selain hanya menggelengkan kepala, ketika melihat kondisi penyebaran HIV-AIDS  di Papua yang sebenarnya. Dari beberapa penyebab penyebaran virus mematikan ini, frekuensi tertinggi adalah melalui hubungan seks dari para suami. Akibatnya, perempuan yang terinveksi HIV-AIDS lebih banyak terjadi dari kalangan ibu rumah tangga.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua, jumlah kasus HIV-AIDS per 31 Desember 2011 menunjukkan bahwa perempuan yang menderita HIV-AIDS sebanyak 5093 kasus, hampir sebanding dengan laki-laki yang berjumlah 5400 kasus. Penderita HIV-AIDS tertinggi adalah pada rentan usia 25-49 tahun. Kota Jayapura dengan jumlah kasus penderita HIV-AIDS sebanyak 1914 kasus menduduki urutan kedua setelah Mimika (2180 kasus). Diluar itu, diperkirakan masih banyak yang belum terdata secara pasti. Ibarat gunung es, penyakit ini adalah sesuatu yang barangkali menjadi aib untuk para si penderita, sehingga masih banyak yang berusaha untuk menyembunyikannya.

Dilihat dari sisi biologis, perempuan lebih rentan terinfeksi dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena dalam berhubungan seks biasanya membuat vagina menjadi lecet, kemudian HIV masuk melalui cairan vagina, lalu bercampur dengan darah serta dalam kandungan ASI. Konsentrasi HIV dalam sperma jauh lebih tinggi dibandingkan konsentrasi HIV dicairan vagina sehingga menyebabkan penularan HIV dan PMS lebih efektif dari laki-laki ke perempuan dibandingkan sebaliknya.

Ledakan jumlah penderita AIDS bukan tanpa adanya perhatian dari pihak terkait. Karena menurut info yang kami dapat, Penaggulangan secara besar-besaran kerap di lakukan, termasuk dengan di gelarnya kampanye Pemakaian Kondom yang di lakukan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua sebagai upaya pencegahan HIV-AIDS di Papua.

Menurut Ketua Pelaksana Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Constant Karma, Setelah KPA mengampanyekan pemakaian kondom sebagai pencegahan HIV-AIDS, sebenarnya timbul kesadaran di kalangan perempuan untuk melakukan seks secara aman. Namun kesadaran tersebut ternyata tidak dibarengi dengan kesadaran pihak laki-laki yang beranggapan seks menggunakan kondom bisa mengurangi kenyamanan. Budaya Patriarki yang masih kental di tanah Papua membuat posisi perempuan kian terpojok,  perempuan tidak mempunyai hak dalam hal reproduksi.

Kondisi kian di persulit dengan adanya peran domestik yang juga tidak berimbang, dimana istri bekerja mencari nafkah sekaligus mengurus rumah tangga, berbanding terbalik dengan suami yang tidak bekerja. Ironisnya, suami justru melakukan perselingkuhan. Belum lagi adanya penganiayaan yg dilakukan suami ketika si isteri menolak untuk berhubungan seks tanpa  mengenakan kondom.

Kerawanan tertularnya HIV-AIDS dari ibu hamil kepada bayinya terbilang sangat tinggi, bukan tanpa alasan, hal ini di dasari dengan banyaknya angka ibu rumah tangga yang telah terinveksi. Constant mengatakan, “prevalensi HIV pada ibu hamil di Papua sudah 2,4 persen sehingga seluruh ibu hamil wajib dites HIV untuk mengetahui status HIV yang di deritanya.” Disamping itu mereka juga diberikan konseling sebagai upaya pencegahan dini penularan HIV dari ibu kepada bayinya.  Karena Jika pelayanan kesehatan melalui program PPIA (Pencegahan Penularan HIV-AIDS dari Ibu kepada Anak) bisa maksimal maka bisa menolong ibu yang terinfeksi dan mencegah penularan kepada bayi hingga 80 persen.  “Penyebaran HIV-AIDS di Papua yang relatif cepat ini membutuhkan perhatian serius, jika dianggap enteng dampaknya akan sangat luas bagi masyarakat” Ujar Constant menegaskan.

Atas dasar itu pula, pihak KPA Papua terus berupaya mengampanyekan dan menyosialisasikan tentang bahaya HIV-AIDS  sekaligus cara pencegahannya. Termasuk di dalamnya adalah memberikan penyuluhan penggunaan kondom kepada perempuan di lokalisasi, ibu rumah tangga, dan masyarakat umum. KPA juga telah menjalin kerja sama dengan UNICEF, guna menjalankan program “Pengarusutamaan HIV-AIDS”. Program ini merupakan pelajaran HIV-AIDS yang dimasukan ke dalam kurikulum muatan lokal dari tingkat SD sampai SMA, juga disampaikan kepada organisasi-organisasi pemuda.  Program ini sudah diterapkan di 5 Kabupaten di Papua sejak tahun 2004 silam, diantaranya di Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Sorong, Manokwari, dan Biak.

Perbincangan kami dengan  Constant Karma dan jajarannya di hotel Swis-bel terpaksa disudahi mengingat waktu yang beranjak malam. Langit Papua semakin menggelap, dan kami harus kembali ke penginapan. Mengumpulkan data sekenanya, sebelum nantinya dijadikan bahan tulisan .

Klinik Semata Wayang

Hari ketiga, atau sehari sebelum menyudahi kunjungan kami di Papua, tim menyempatkan waktu untuk mengunjungi salah satu klinik yang berperan aktif mengurusi HIV-AIDS di Papua. Sebenarnya di Jaya Pura sendiri tak banyak klinik yang secara khusus menangani HIV-AIDS. Klinik Wali Hole, yang artinya pemelihara hidup, menjadi satu-satunya klinik yang serius menangani pasien penderita HIV-AIDS di Papua. Klinik ini berada di bawah naungan GKI (Gereja Kristen Injili) Papua. Wali Hole tidak menjalankan sendiri, tapi bekerja sama dengan beberpa rumah rumah sakit yang tersebar di sekitarnya. Selain pengobatan secara medis, klinik yang berdiri sejak tahun 2010  ini juga memberikan perawatan khusus dalam bentuk kerohanian. Penderita diberikan  pemeriksaan, obat-obatan, pendidikan, pembinaan dan pelatihan secara gratis.

Selain itu juga didukung dengan menempatkan beberapa orang sebagai tenaga konseler. Peran Konseler sendiri dirasa begitu penting dan amat berpengaruh dalam proses selama merawat penderita HIV-AIDS agar sipenderita bisa melawan penyakitnya, untuk kemudian kembali berdaya di masyarakat. Caranya, dengan memberikan keterampilan seperti menjahit, dan lain-lain. Pendeta Betty Sarewo berharap rumah sakit pemerintah yang ada di Papua, segera meningkatkan kualitas pelayanan dan memberikan treatmen yang bisa menekan penularan virus HIV-AIDS.

Untuk menyelesaikan persoalan ini, rasanya tidak cukup hanya dengan diam dan menunggu campur tangan Tuhan, perlu adanya kerja keras dari semua pihak, termasuk pemerintah untuk sesegera mungkin menerapkan cara-cara pencegahan yang nyata  untuk menyudahi, atau setidaknya memutus mata rantai yang terlanjur mengikat sebagian masyarakat Papua agar penyebaran HIV tidak terus terjadi. Lebih dalam, pencegahan penularan HIV ini juga bagian dari pencegahan punahnya suka (bangsa) asli di Papua.

4 thoughts on “HIV-AIDS Menjangkit Ibu Rumah Tangga di Papua

  1. sepertinya belum adanya kesadaran dan pengetahuan yang baik dri masyarakat papua seluruhnya tentang bahaya HiV-Aids. SEMOGA TUHAN MEMELIHARA BANGSA KU PAPUA DARI KEPUNAHAN, AMIN.

  2. Pingback: ingin cantik sempurna ibu rumah tangga .

Leave a comment